Saat obrolan itu terjadi, sahabat saya yang satu ini baru saja beberapa minggu mengenakan jilbab. Suatu langkah melesat maju ke depan, kalau bisa dibilang beribu-ribu langkah, karena di tengah kehidupan yang serba hedonis, sahabat saya telah menyatakan diri tunduk pada perintah Allah SWT.
“Katakanlah kepada wanita yang beriman:”Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka....” (QS 24: 31)
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuhnya” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, maka mereka tidak akan diganggu. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (QS 33:59)
Para muslimah diperintahkan Allah untuk menjaga auratnya sebagai bentuk penghormatan dan kemuliaan wanita, bukankah sesuatu yang bernilai mahal selalu dilindungi dan dijaga? Jadi, perintah hijab untuk para muslimah adalah suatu bentuk kasih sayang Allah untuk melindungi dan menjaga kaum wanita.
Kami sering mengisi waktu selama perjalan menuju tempat kerja dengan “diskusi kecil”. Sahabat saya ini termasuk tipe orang yang kritis, ghirah untuk belajar agamanya tinggi, she has high curousity. Menjadi sebuah keberuntungan jika saya dapat berdiskusi dengannya, karena terkadang dari pembicaraan kami, ada beberapa pertanyaan atau pernyataannya, yang ternyata turut memicu saya untuk belajar lebih banyak lagi, mempelajari agama yang mulia ini. Kami memang sedang sama-sama belajar, belajar untuk terus menjadi orang yang lebih baik.
Saat mengobrol itulah, ada ucapannya yang membuat saya merasa terpacu dan merasa diingatkan. Saat itu, ia berucap “benar ya, Bu (di kantor saya dipanggil Ibu, secara saya belum jadi ibu-ibu...he..he), ternyata dengan berjilbab, kita bisa menjaga diri”. Saat itu sahabat saya bercerita bahwa dengan hijabnya itu, ia menjadi lebih berhati-hati dalam bergaul dengan lawan jenis, sampai-sampai calon suaminya merindukan sosoknya yang dulu, dan sempat berujar “mungkin kita gak jodoh”. Ucapan yang timbul karena adanya perubahan dalam diri orang yang dikasihinya. Ucapan yang timbul karena sang kekasih telah menjaga jarak dalam hubungannya. Perubahan itu dilakukan untuk menjaga diri.
Mendengar ucapan seperti itu, saya pun mengaminkan, bahwa ketika muslimah memutuskan untuk mengenakan hijab, maka ada konsekuensi yang harus diikuti dan dita’ati, salah satunya dalam hal hubungan dengan non muhrim, bahwa hubungan itu harus beretika dan jelas batasannya. Tapi sesungguhnya sahabat saya beruntung memiliki calon suami yang mau sama-sama belajar. Saya pun berucap bahwa dengan bersama-sama memperbaiki diri, maka akan terjadi keseimbangan, masing-masing akan mengarah ke level pemahaman yang sama, dan kesadaran untuk terus belajar dapat mereduksi riak-riak perbedaan yang pasti ada pada siapapun sebagai dua individu yang berbeda. Tetapi perbedaan yang dilandasi ilmu, maka ia tidak akan menjadi runcing, malah menjadi suatu rahmat. Bukankah dengan perbedaan hidup menjadi penuh warna?
Kalimat “dengan berjilbab, kita bisa menjaga diri” adalah warning buat diri saya juga, agar saya terus berusaha untuk menjadi muslimah yang lebih baik dan terus lebih baik. Tidak hanya dalam hal penampilan, perubahan itu harus diwujudkan dalam suatu tingkah laku yang sesuai. Sesuai dengan jati diri sebagai seorang muslimah.
Dengan berhijab maka tuntutan untuk terus berusaha meng-upgrade kualitas diri secara keseluruhan adalah suatu keniscayaan, berbusana muslim adalah salah satu bagian dalam usaha kita untuk penyempurnaan mengaktualisasikan dan merealisasikan perintah agama.
Teruntuk sahabatku, semoga tetap istiqomah untuk terus belajar dan memperbaiki diri, and of course, moga kita bisa saling mengingatkan dalam kebaikan. Mari kita ber-fastabiqul khairat.....
insya allah berjilbab bisa menjadi langkah awal untuk menjadi hamba yang lebih baik di hadapan Allah SWT.
BalasHapusAmin..